Pencelupan dengan karbon dioksida superkritik (SCO2)
membutuhkan kondisi proses dengan tekanan sangat tinggi, yaitu sekitar
200-300 bar, jauh di atas titik kritiknya yang ‘hanya’ 73,8 bar. Tekanan
sebesar itu kurang-lebih setara dengan 40-60 kali tekanan operasional
mesin-mesin pencelupan HT-HP dan diperlukan untuk mendorong perpindahan
dan adsorpsi zat warna dari SCO2 ke serat.
Mencermati
perkembangan studi tentang pencelupan dengan metoda ini yang secara umum
lebih difokuskan pada zat warna dan kimia-fisika pencelupannya,
berikutnya muncul pertanyaan menarik yang saat ini belum cukup menarik
perhatian: konsekuensinya terhadap sifat mekanik maupun morfologi serat.
Bagaimanakah sesungguhnya pengaruh kondisi proses terhadap kekuatan
serat? Adakah perubahan signifikan pada morfologi dan struktur internal
serat? Bila ada, bagaimana pula efeknya terhadap sifat-sifat mekanik dan
kimia serat?
Sebagai kelanjutan dari tulisan terdahulu mengenai
pencelupan dengan karbon dioksida superkiritik, maka saat ini akan
dibahas efek-efek yang dapat ditimbulkan oleh kondisi prosesnya yang
ekstrim terhadap sifat-sifat fisik serat, terutama poliester. Ini
menjadi sangat penting, tidak hanya karena berkaitan dengan kekuatan dan
kedayagunaan serat, namun juga karena pengaruhnya terhadap mutu dan
reproduksibilitas penyerapan zat warna dalam proses pencelupan.
Efek plastisasi CO2 pada Polimer Serat
Pada
tulisan terdahulu telah dijelaskan bahwa karbon dioksida superkritik
memiliki kelarutan sangat tinggi di dalam banyak bahan polimer, dan
seperti halnya pelarut organik ia bekerja menggembungkan serat.
Penyerapannya ke dalam bagian amorf serat poliester mencapai 7.5 x 10-4 mol/g polimer; bandingkan dengan air yang hanya terserap sebanyak 2.2 x 10-4 mol/g polimer3,
tanpa efek penggembungan. Penggembungan tersebut mengakibatkan
rantai-rantai molekul di dalam struktur polimer saling menjauh satu sama
lain, terutama di bagian amorf, sehingga mobilitasnya pun meningkat dan
memungkinkan untuk tersusun kembali dalam suatu susunan yang lebih
teratur dan rapat. Bagian polimer yang semula amorf kini menjadi lebih
teratur sehingga menghasilkan polimer dengan derajat kristalinitas lebih
tinggi. Di samping itu, perubahan juga dapat diamati pada migrasi
oligomer PET ke permukaan serat, perubahan perilaku termo-mekanik, dan
turunnya suhu transisi gelas (Tg).
Peningkatan mobilitas rantai
polimer yang diikuti dengan penyusunan kembali posisi masing-masing
rantai relatif terhadap lainnya disebut sebagai plastisasi. Fenomena ini
juga bisa ditemui misalnya pada perubahan sifat-sifat fisik serat kapas
akibat penggembungan dengan soda kostik pada proses merserisasi. Efek
plastisasi SCO2 terutama sekali disebabkan oleh interaksinya dengan pusat-pusat reaksi bersifat basa di dalam struktur molekul polimer1-2.
Hasil studi menunjukkan adanya interaksi asam-basa Lewis antara polimer
yang mempunyai gugus fungsional berkarakter donor-elektron, misalnya
karbonil (>C=O) pada PET atau poli(metil metakrilat), dengan karbon
dioksida. Hasil studi yang lain memperlihatkan karbon dioksida dalam hal
ini berperilaku sebagai asam Lewis. Interaksi tersebut membentuk suatu
kompleks polimer-CO2 yang belum lagi diketahui bentuk
geometrinya dan mengakibatkan berkurangnya interaksi antara
rantai-rantai polimer yang berdekatan sehingga akhirnya masing-masing
menjadi lebih bebas untuk bergerak relatif terhadap yang lainnya. Namun
demikian, kadar spesi spesifik polimer-CO2 pada poliamida 6.6
ternyata tidak sebesar yang didapati pada PET. Ikatan hidrogen yang
terbentuk antara gugus karbonil dan amida pada rantai-rantai yang
berdekatan pada poliamida menghalangi interaksi asam-basa spesifik
antara polimer dengan CO23.
Suhu Transisi Gelas dan Struktur Serat
Suhu
transisi gelas secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suhu dimana
pergerakan rantai-rantai molekul polimer yang semula sangat terbatas
meningkat secara jelas menjadi lebih bebas. Plastisasi yang ditimbulkan
CO2 memberi ruang gerak yang lebih besar pada rantai molekul
polimer, sehingga mudah diduga jika pengerjaan dengan karbon dioksida
berakibat pada turunnya suhu transisi gelas polimer. Penurunan tersebut
ternyata sangat bervariasi, yaitu mulai dari 6°C hingga 70°C. Belakangan
diketahui bahwa variasi tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan
derajat kristalinitas antara satu sampel dengan sampel lainnya dalam
tiap studi3. Serat yang bagian amorfnya lebih besar memungkinkan CO2
untuk berdifusi lebih banyak masuk ke dalam serat sehingga penurunan
Tg-nya pun menjadi lebih besar. Kebanyakan bahan polimer yang dilaporkan
dalam studi tersebut ternyata memiliki derajat kristalinitas sangat
rendah, yaitu berkisar sekitar 33%. Dengan demikian tidak mengherankan
jika kemudian terbukti bahwa bahan yang telah dimantap-panaskan terlebih
dulu (pre-heatset) tidak mengalami perubahan suhu transisi gelas secara signifikan.
Perubahan
struktur lainnya, di samping peningkatan derajat kristalinitas total,
adalah migrasi oligomer dari bagian dalam serat keluar ke permukaan
serat pada pengerjaan dengan suhu dan tekanan yang lebih tinggi (Gambar
1)4-5.
Mengkeret
Serat-serat
sintetik yang tidak dimantap-panaskan terlebih dulu pada umumnya
mengalami mengkeret antara 5-10% tergantung suhu dan tekanan pada proses
karbon dioksida superkritik.6 Pada tekanan 280 bar dan suhu
120°C serat PET mengkeret hingga 10%. Pada serat yang dimantap-panaskan
mengekeretnya hanya berkisar antara 0-2%, dan hanya pada kasus tertentu
saja bisa mencapai hingga maksimum 4%.
Bagaimana halnya dengan
serat-serat alam? Serat alam semacam kapas, wol, sutera dan rayon
viskosa terbukti tahan dan pada umumnya tidak mengkeret bahkan pada
kondisi suhu lebih tinggi, yaitu 160°C dengan tekanan 280 bar, dan waktu
proses lebih lama (4 jam).
Kerusakan Serat
Pada
umumnya, kerusakan pada serat yang mungkin timbul akibat proses dengan
karbon dioksida superkritik bisa berasal dari salah satu ataupun
kombinasi kedua hal berikut, yaitu panas dan asam, dimana efeknya
meningkat seiring dengan waktu proses. Kemungkinan kerusakan pada serat
akibat suatu perlakuan tertentu dapat diketahui dengan mengamati
perilaku termo-mekaniknya. Hasil studi menunjukkan bahwa serat-serat
alam semacam kapas, sutera dan wol serta selulosa yang diregenerasi
(rayon viskosa) terbukti tahan terhadap perlakuan dengan karbon dioksida
superkritik hingga 140°C selama 4 jam dan hingga 160°C untuk waktu
proses yang lebih singkat. Serat poliester merupakan jenis serat yang
paling tahan bahkan hingga suhu 160°C, sedangkan poliamida merupakan
serat yang paling sensitif. Ia hanya tahan hingga suhu 120°C.6
Mengingat
kestabilan serat-serat tersebut di atas terhadap kondisi proses dengan
karbon dioksida superkritik hingga suhu 140°C, kecuali poliamida, maka
secara umum dapat disimpulkan bahwa proses ini aman untuk proses
penyempurnaan tekstil.
Daftar Pustaka
- Kazarian, S.G.; Vincent, M.F.; Bright, F.V.; Liotta, C.L.; Eckert, C.A. Specific Intermolecular Interaction of Carbon Dioxide with Polymers. J. Am. Chem. Soc., 1996, 118 (7), pp 1729-1736.
- Nelson, M.R.; Borkman, R.F. Ab Initio Calculations on CO2 Binding to Carbonyl Groups. J. Phys. Chem. A, 1998, 102 (40), pp 7860-7863.
- Bach, E.; Cleve, E.; Schollmeyer, E. Past, Present and Future of Supercritical Fluid Dyeing Technology - An Overview. Rev. Prog. Color., 2002, 32, p. 88-102.
- Hou, A.; Xie, K.; Dai, J. Effect of Supercritical Carbon Dioxide Conditions on the Chemical and Morphological Changes of Poly(ethylene terphtalate) Fibers. J. App. Polym. Sci., 2004, 92, pp 2008-2012.
- Sfiligoj, M.S.; Zipper, P. WAXS Analysis of Structural Changes of Poly(ethylene terephtalate) Fibers Induced by Supercritical-Fluid Dyeing. Coll. Polym. Sci., 1998, 276, pp 144-151.
- Schmidt, A.; Bach, E.; Schollmeyer, E. Damage to Natural and Synthetic Fibers Treated in Supercritical Carbon Dioxide at 300 bar and Temperatures up to 160°C. Tex. Res. J. 2002, 72, pp 1023-103.
0 komentar:
Posting Komentar